Berhijab Itu Kontrak Pribadi Dengan Tuhan. Janganlah Ikut Campur Menghakimi Mereka yang Belum Siap!


Berhijab Itu Kontrak Pribadi Dengan Tuhan. Janganlah Ikut Campur Menghakimi Mereka yang Belum Siap!
Sedih rasanya bila menyaksikan di media sosial, orang begitu lugas menghakimi orang lain. Mulai dari mempertanyakan agama, sampai menkafirkan sebab sikap yang dirasakan tak sejalan.
Berbeda dengan kira-kira dua puluh tahun yang lalu, sekarang hijab telah menjadi urusan yang biasa. Kesempatan untuk wanita Islam menjalankan kewajibannya telah terbuka lebar. Namun seturut dengan itu, sekarang orang pun mudah sekali mencela untuk mereka-mereka yang belum berhijab. Niatnya mungkin hanya mengingatkan bakal kewajiban, tetapi terkadang bahasa yang dipakai terlalu menghakimi.

Kita yang telah berhijab tidak jarang merasa sudah sangat tepat. Lantas mulai bertanya-tanya kenapa dia dan dia tidak segera berhijab
Sebagai simbol agama, hijab biasanya dijadikan standar. Sudah menjalankan salah satu keharusan umat Islam, yakni dengan menggunakan hijab, sering menciptakan sebagian dari anda merasa mempunyai ilmu agama yang lebih tinggi. Dari sini mungkin pun muncul hasrat merasa sangat benar sendiri. Lalu anda mulai mengritik dia-dia yang menyatakan islam yang belum berhijab.
Namun apakah dia yang belum berhijab tidak dapat disebut islam? Apakah orang-orang terdahulu, yang hidup di era sebelum reformasi misalnya, di mana kala tersebut hijab belum menjadi urusan yang umum seperti ketika ini (di samping belum umum, sebagian pun dilarang), pun bukan Islam melulu karena tidak sempat berhijab?

Yang telah berhijab belum garansi bahwa akhlak sudah sangat sempurna, dan dia yang belum berhijab pun belum pasti hobi melakukan dosa. Menilai seseorang tak dapat hanya dari hijabnya saja
Di era masa kini, sepertinya gampang sekali memberi label ‘Alim banget nih!’, untuk seorang wanita berhijab dan label ‘rusak nih’ untuk perempuan-perempuan yang tidak berhijab dan mungkin berpakaian dengan ‘sedikit berani’. Namun apakah sudah garansi bahwa dia yang berhijab tidak jarang kali lebih baik dan lebih rajin mengaji daripada dia yang tidak berhijab?

Karena sebagai seorang wanita berhijab, saya individu merasa bahwa akhlak saya masih tidak sedikit kurangnya. Sementara tersebut mereka-mereka yang tidak berhijab, pun tidak tidak jarang kali berarti dia suka melakukan dosa, dan memuja hidup bebas tanpa bimbingan agama. Untuk ketika ini, selembar hijab tidak dapat menggambarkan tersebut semua.

Berhijab namun masih suka menggunakan celana jeans tidak jarang juga dicerca karena dituduh tidak syar’i. Padahal masing-masing orang perlu waktu guna belajar menyempurnakan diri
Tak melulu yang belum berhijab, dia-dia yang telah berhijab tetapi masih senang menggunakan celana jeans dan kaos sering pun dinyinyiri. Dianggap tidak syari sebab tidak menggambarkan sosok muslimah yang sesungguhnya. Memang idealnya bahwa berhijab juga dibuntuti dengan gaya busana yang syar’i. Dalam artian tidak mengindikasikan lekuk-lekuk tubuh yang tidak perlu diperlihatkan (dalam urusan ini celana jeans ketat jelas tidak mengisi syarat).

Namun bukankah tidak seluruh orang dapat dengan gampang nyaman menggunakan rok panjang? Dan bukankah, masing-masing orang membutuhkan proses guna belajar menjadi muslimah yang benar? Meskipun belum sekarang, mereka pun sedang berjuang untuk menyempurnakan busana.

Ada yang memilih guna berhijab sesudah hatinya benar-benar siap, terdapat yang memilih guna berhijab seraya belajar menyempurnakan akhlak. Masing-masing orang berhak menilai sendiri
Faktanya ialah hijab bukanlah semata-mata penutup kepala. Betapa mudahnya bila hijab semata-mata unsur dari tren fashion yang dapat dilepas dan dipasang. Namun jilbab ialah sebuah simbol sakral, suatu tuntunan agama yang seharusnya dihayati dengan sebenar-benarnya. Memakai jilbab tidak semudah kita menggunakan selendang, karena dibalik kain tersebut ada segudang konsekuensi yang mesti diikuti.

Bagus bila kita gampang menyiapkan diri, tetapi tidak kemudian mudah pula untuk orang lain. Ada yang memilih ‘menghijabi’ hatinya dahulu, baru rambutnya. Ada pun yang memilih melakukannya bersama-sama. Itu ialah preferensi pribadi, risikonya, pun ditanggung pribadi.

Mengingatkan saudara seiman memang kewajiban, tetapi menghakimi bukanlah porsi kita. Sebab, Hijab ialah perwujudan relasi antara seseorang dengan Tuhan. Kita tak butuh mengintervensi
Kepada saudara seiman anda memang mesti saling mengingatkan mengenai kewajiban.

Tak butuh diragukan, masing-masing orang pasti hendak menuju kebaikan. Hanya saja, tidak seluruh orang dapat mencapainya dengan mudah. Menutup aurat memang kewajiban, tak peduli anda siap atau tidak. Namun tersebut tidak berarti anda boleh menghakimi dia yang merasa belum siap menjalankan kewajiban. Sebagai sesama muslim, kita mesti mengingatkan. Namun menghakimi dan mencela sebab mengaku muslim namun tidak berhijab, pasti bukan urusan yang bijaksana.


Comments

Popular Posts